Di sebuah pesantren, seorang kiai sedang memberikan pelajaran pada para santrinya. Dia mengisahkan tentang seekor sapi ajaib. Di seluruh dunia, tak ada susu sapi yang mampu mengalahkan kualitas susu yang dihasilkan sapi yang satu ini.
Orang berdatangan dari kawasan-kawasan yang sangat jauh hanya untuk melihat sapi dan susunya itu. Dan setelah menyaksikan binatang ajaib itu, mereka selalu takjub dan memuji-muji.
Sepulang dari menyaksikan sapi itu, para ayah mengajarkan kepada putra mereka hikmah tentang dedikasi pada tugas. Para pemuka agama menghimbau jamaahnya untuk produktif seperti sang sapi, tentu dengan cara mereka masing-masing. Para pejabat negara merujuk sapi ajaib itu untuk teladan tingkah laku, perencanaan dan pemikiran yang dapat ditiru oleh sebuah komunitas masyarakat. Singkatnya, semua orang mampu menemukan manfaat dari keberadaan sang sapi.
"Namun," demikian Pak Kiai menjelaskan, "ada satu hal yang dilupakan orang-orang itu, mungkin karena mereka demikian terpesona dengan hal-hal baik yang dimiliki sang sapi. Sapi itu punya kebiasaan kecil: kalau susunya yang berkualitas tinggi itu sudah penuh seember, dia menendangnya, hingga tumpahlah seluruh susu yang sudah susah payah diperas."
Pak Kiai mengakhiri cerita dan bersip-siap bangkit saat seorang santri bertanya,"Lalu apa relevansi kisah sapi itu dengan kita, Pak Kiai?"
"Sapi itu jelas Amerika yang selalu ingin menyebarkan demokrasi, sedangkan susu sapi ya demokrasinya itu. Tumpah semua ditendangnya sendiri," jawab Pak Kiai. [PN/Mizan.com/Disadur dari www.lehigh.edu]
0 komentar:
Post a Comment